HILANGNYA SUMBER DAYA HAYATI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Permasalahan Global Sumber Daya Hayati

Dewasa ini, ekosistem banyak mengalami kerusakan akibat perbuatan manusia yang tidak bertanggungjawab. Terganggunya ekosistem global pada lapisan biosfir telah menyebabkan masalah yang serius terhadap satu-satunya sumber daya hayati di alam semesta. Hal ini disebabkan oleh beberapa aspek, yang meliputi:
·         pencemaran lingkungan (Gambar 1.1),
·         pemanasan global,
·         penebangan dan kebakaran hutan (Gambar 1.2),
·         cepatnya laju pertumbuhan penduduk,
·         meningkatnya permintaan bahan pangan,
·         pola pemilikan tanah yang tidak adil,
·         pola perkampungan dan perpindahan penduduk yang tidak merata,
·         melebarnya jurang pemisah antara kaya dengan miskin.
Kecendrungan negatif dari aspek-aspek seperti pencemaran dan deforetasi di atas tidak dapat diatasi, kecuali jika kita seluruh masyarakat dunia berkomitmen untuk mengelola sumber-sumber kekayaan alam dunia ini sebagai suatu sistem penyokong kehidupan yang utuh, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang secara adil (intergeneration equity). Keadilan antar generasi sangat penting untuk diperhatikan, kalau tidak, kita hanya akan meninggalkan lingkungan yang tercemar dan sumberdaya alam yang telah rusak. Sehingga kita hanya mewariskan beban yang berat bagi anak cucu kita, bukan kesejahteraan dan kenyamanan hidup.


Seperti kita ketahui bersama, salah satu penyebab utama penurunan keanekaragaman hayati pada suatu bentang alam (landscape) adalah kegiatan konversi hutan (Gambar 1.3) ke sistem pertanian yang intensif dan cenderung monokultur. Padahal, keanekaragaman hayati memiliki peran yang penting untuk menjaga keberlangsungan suatu ekosistem serta mempertahankan kualitas hidup manusia. Tekanan ekonomi dan keserakahan manusia seringkali mengurangi tingkat penghargaan dan tanggung jawab manusia terhadap peran keanekaragaman hayati, bahkan manusia sering menimbulkan kerusakan dan gangguan terhadap ekosistem.







1.2  Kondisi Sumber Daya Hayati di Indonesia
Indonesia yang berada di kawasan garis khatulistiwa terdiri dari 17.058 pulau dan memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan, dan jasad renik yang tinggi, termasuk tingkat endemisnya. Tingkat keanekaragaman yang tinggi akan menghasilkan kestabilan lingkungan atau ekosistem yang mantap. Keanekaragaman ekosistem, di dalamnya tercakup genetik, spesies, beserta ekosistemnya. Keanekaragaman ekosistem merupakan keanekaragaman hayati yang paling kompleks dan telah menjadi suatu sistem yang saling ketergantungan (interindependent) anatara satu komponen dengan yang lainnya. Kita ketahui bersama bahwa Indonesia memiliki berbagai keanekaragaman ekosistem, diantaranya adalah: ekosistem hutan, lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang lamun dan berbagai ekosistem lainnya yang terbentang dari mulai dari tepi pantai sampai puncak gunung. Keanekaragaman di dalam ekosistem tersebut tentunya mengandung keanekaragaman hayati yang tinggi dan sangat bermanfaat bagi semua bentuk-bentuk kehidupan di bumi, baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang untuk anak cucu kita.
  
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa, keanekaragaman hayati menyediakan berbagai produk dan jasa, mulai dari bahan pangan, energi, bahan produksi atau bahan baku industri, sumber daya genetik sebagai bahan dasar pemuliaan tanaman, sampai kepada berbagai jasa lingkungan. Keanekaragaman hayati dapat  menyediakan berbagai jasa lingkungan yang berfungsi untuk mendukung sistem kehidupan, seperti menjaga kualitas tanah, menyimpan-memurnikan dan menjadi reservoir air, menjaga siklus pemurnian udara, siklus karbon, siklus nutrisi atau unsur hara, peringatan dini dari satwa, mitigasi bencana, dan berbagai jasa lingkungan lainnya.

Menurut Primack et al. (1998), Indonesia menduduki posisi yang penting dalam peta keanekaragaman hayati dunia, karena termasuk dalam sepuluh negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia (Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan) dan benua Australia (Pulau Papua) dan sebaran wilayah peralihan Wallacea (Pulau Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara) yang memiliki keanekaragaman hayati yang kaya dengan tingkat kekhasan dan  tingkat endemisme yang tinggi pula.

Selanjutnya Mittermeier et al., (1997) menjelaskan bahwa Indonesia juga memiliki kekayaan spesies satwa yang sangat tinggi, walaupun Indonesia hanya memiliki luas daratan sekitar 1,3 persen dari luas daratan dunia, Indonesia memiliki sekitar 12 persen (515 jenis) dari total jenis binatang menyusui (mamalia), 7,3 persen (511 jenis) dari total reptil dan 17 persen (1531 jenis) dari total jenis burung di dunia, 270 jenis ampibi, 2827 jenis ikan tidak bertulang belakang. Kekayaan spesies-spesies tersebut terkandung di dalam 47 jenis ekosistem. Selain itu, sebagai bagian terbesar di kawasan Indo Malaya, Indonesia merupakan salah satu dari 12 pusat distribusi keanekaragaman genetik tanaman atau yang lebih dikenal sebagai Vavilov Centre.

Namun demikian, dewasa ini keanekaragaman hayati Indonesia mengalami erosi cukup parah. Apabila tidak segera dihentikan akan merosot terus menerus. Bappenas (1993) memperkirakan sekitar 20–70 persen habitat asli Indonesia telah lenyap. Walaupun sulit dipastikan, diperkirakan satu spesies punah setiap harinya (KLH, 1997). Sementara penyusutan  keanekaragaman genetik, terutama di spesies liar, belum terdokumentasi dengan baik. Padahal, sumber daya genetik yang ada belum dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Kita pahami bersama bahwa tiada yang diciptakan sia-sia, semua ada manfaatnya. Manusia saja yang belum menemukan teknologi bagamina memanfaatkan semua ciptaan, sehingga manusia cendrung mengabaikan bahkan sering merusak berbagai sumber daya alam, termasuk keanekaragaman hayati.

1.3   Pengertian Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keanekaan bentuk kehidupan di bumi, interaksi di antara berbagai makhluk hidup serta antara mereka denganlingkungannya; Keanekaragaman hayati mencakup semua bentuk kehidupan di muka bumi, mulai dari makhluk sederhana seperti jamur dan bakteri hingga makhluk yang mampu berpikir seperti manusia;

Keanekaragaman hayati ialah fungsi-fungsi ekologi atau layanan alam,berupa layanan yang dihasilkan oleh satu spesies dan/atau ekosistem (ruang hidup) yang memberi manfaat kepada spesies lain termasuk manusia (McAllister 1998);

Keanekaragaman hayati merujuk pada aspek keseluruhan dari system penopang kehidupan, yaitu mencakup aspek sosial, ekonomi dan lingkungan serta aspek sistem pengtahuan dan etika, dan kaitan di antara berbagai aspek ini;

Keanekaan sistem pengetahuan dan kebudayaan masyarakat juga terkait erat dengan keanekaragaman hayati. Terdapat tiga pendekatan membaca keanekaragaman hayati, yakni tingkat tingkat ekosistem (1), tingkat taksonomik atau spesies (2), dan tingkat genetik

Keanekaragaman ekosistem: mencakup keanekaan bentuk dan susunan bentang alam, daratan maupun perairan, di mana makhluk atau organisme hidup (tumbuhan, hewan dan mikroorganisme) berinteraksi dan membentuk keterkaitan dengan lingkungan fisiknya.
Keanekaragaman spesies: adalah keanekaan spesies organisme yang menempati suatu ekosistem, di darat maupun di perairan. Dengan demikian masing-masing organisme mempunyai ciri yang berbeda satu dengan yang lain.
Keanekaragaman genetis: adalah keanekaan individu di dalam suatu spesies. Keanekaan ini disebabkan oleh perbedaan genetis antarindividu. Gen adalah faktor pembawa sifat yang dimiliki oleh setiap organisme serta dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Contoh keterkaitan ketiga tingkat keanekaragaman hayati tersebut dapat dilihat pada kawasan yang mempunyai keanekaan ekosistem yang tinggi, biasanya juga memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi dengan variasi genetis yang tinggi pula. Ada beberapa hal lain yang perlu dipahami mengenai keanekaragaman hayati, yaitu:
Pusat Asal-usul: adalah wilayah geografis tempat suatu takson berasal atau pertama kali berkembang.
Pusat Keanekaragaman : kawasan geografis yang mempunyai keanekaragaman spesies atau genetis yang tinggi.

Pusat Endemisme: kawasan geografi dengan jumlah spesies endemik
yang tinggi pada tingkat lokal .

Definisi keanekaragaman hayati adalah: keanekaragaman makhluk hidup dan semua unsur-unsur yang berhubungan dengan ekologinya, dimana makhluk hidup tersebut terdapat. Keanekaragaman hayati mencakup tiga tingkatan yaitu:
  1. Keanekaragaman genetik, merupakan keanekaragaman yang paling hakiki, karena  keanekaragaman ini dapat berlanjut dan bersifat ditunkan. Keanekaragaman genetik ioni    berhubungan dengan keistimewaan ekologi dan proses evolusi.
  2. Keanekareagaman jenis, meliputi flora dan fauna. Beraneka ragam jenis memiliki perilaku, strategi hidup, bentuk, rantai makanan, ruang dan juga ketergantungan antara jenis satu dengan yang lainnya. Adanya keanekaragaman yang tinggi akan menghasilkan kestabilan lingkungan yang mantap.
  3. Keanekaragaman ekosistem merupakan keanekaragaman hayati yang paling kompleks. Berbagai keanekaragaman ekosistem yang ada di Indonesia misalnya ekosistem hutan dan pantai, hutan payau (mangrove), hutan tropika basah, terumbu karang, dan beberapa ekosistem pegunungan, perairan darat maupun lautan. Pada setiap ekosistem terdapat berbagai jenis organisme, baik flora maupun fauna, dan mereka memiliki tempat hidup yang unik.


=====================================================================

BAB II. 
KEPUNAHAN SUMBER DAYA HAYATI


Penurunan keanekaragaman hayati di berbagai ekosistem disebabkan oleh berbagai faktor antara lain adalah berbagai aktivitas manusia yang tidak bertanggungjawab seperti: konversi lahan, pencemaran, exploitasi yang berlebihan, praktik teknologi yang merusak seperti revolusi hijau, masuknya jenis asing, bencana alam, dan perubahan iklim. Berikut beberapa illustrasi kerusakan keanekaragaman hayati pada tingkat ekosistem, jenis/spesies dan genetik.

2.1  Kerusakan Ekosistem

Ekosistem hutan mengalami ancaman berupa penebangan hutan (deforestasi), fragmentasi dan konversi menjadi bentuk pemanfaatan lain. Berdasarkan data Bank Dunia 2001 diperkirakan bahwa penggundulan hutan di Indonesia mencapai 1,6 juta ha/tahun atau tiga ha per menit (Bank Dunia, 2001) hingga dua juta ha/tahun (Forest Watch Indonesia, 2001).
      Jika penggundulan hutan terjadi secara terus menerus, maka akan mengancam spesies flora dan fauna dan merusak sumber penghidupan kita sendiri.  Banyak aktivitas pembangunan dewasa ini tidak memperhatikan dengan serius dampak yang ditimbulkanya terhadap kerusakan ekosistem beserta keanekaragaman hayati yang dikandungnya. Misalnya, pembukaan jalan dalam kawasan yang dilindungi lebih banyak membawa dampak negatif bagi lingkungan. Saat ini kekhawatiran banyak pihak akan dampak dari pembangunan jalan di kawasan lindung akan terulang kembali karena adanya rencana pembangunan jalan Ladia Galaska yang memotong kawasan Ekosistrem Leuser di Provinsi Nagroe Aceh Darussalam, yang meliputi antara lain hutan lindung, hutan konservasi (taman buru dan taman nasional), hutan produksi dan lain sebagainya.
Kerusakan ekosistem yang parah juga terjadi pada lahan-lahan basah. Indonesia mempunyai lahan basah (termasuk hutan rawa gambut) terluas di Asia, yaitu 38 juta ha yang tersebar mulai dari bagian timur Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Maluku sampai Papua. Tetapi luas lahan basah tersebut telah menyusut menjadi kurang lebih 25,8 juta ha (Suryadiputra, 1994). Penyusutan lahan basah dikarenakan berubahnya fungsi rawa sebesar 37,2 persen dan mangrove 32,4 persen. Luas hutan mangrove berkurang dari 5,2 juta ha tahun 1982 menjadi 3,2 juta ha tahun 1987 dan menciut lagi menjadi 2,4 juta ha tahun 1993 akibat maraknya konversi mangrove menjadi kawasan budi daya (Suryadiputra, 1994, Dahuri et al., 2001).
Gangguan ekosistem lainnya terjadi pada terumbu karang. Luas terumbu karang Indonesia diduga berkisar antara 50.020 km2 (Moosa et al., 1996 dalam KLH, 2002) hingga 85.000 km2 (Dahuri 2002). Hanya sekitar 6 persen terumbu karang dalam kondisi sangat baik, diperkirakan sebagian terumbu karang Indonesia akan hilang dalam 10-20 tahun dan sebagian lainnya akan hilang dalam 20-40 tahun. Rusaknya terumbu karang akan mengakibatkan terganggunya habitat berbagai bentuk biota laut. Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif pada masyarakat pesisir, misalnya berkurangnya mata pencaharian nelayan akibat terganggunya kehidupan ikan.

2.2  Kepunahan Spesies
Satu spesies diperkirakan punah setiap harinya (KMNLH, 1997). Inventarisasi yang dilakukan oleh badan-badan internasional, seperti International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) dapat dijadikan indikasi tentang keterancaman spesies. Pada 1988 sebanyak 126 spesies burung, 63 spesies binatang lainnya dinyatakan berada di ambang kepunahan (BAPPENAS, 1993). Pada 2002, Red Data List IUCN menunjukan 772 jenis flora dan fauna terancam punah, yaitu terdiri dari 147 spesies mamalia, 114 burung, 28 reptilia, 68 ikan, 3 moluska, dan 28 spesies lainnya serta 384 spesies tumbuhan. 
Salah satu spesies tumbuhan yang baru-baru ini juga dianggap telah punah adalah ramin (Gonystylus bancanus). Spesies tersebut sudah dimasukkan ke dalam Appendix III Convention of International Trade of Endengered Species of Flora and Fauna (CITES). Sekitar 240 spesies tanaman dinyatakan mulai langka, di antaranya banyak yang merupakan kerabat dekat tanaman budidaya. Paling tidak 52 spesies keluarga anggrek (Orchidaceae) dinyatakan langka. Kepunahan jenis di Indonesia terutama disebabkan oleh degradasi habitat (deforestasi, perubahan peruntukan lahan), bencana kebakaran, eksploitasi secara tidak bijaksana (perburuan/pemanenan liar)  dan masuknya spesies asing invasif serta perdagangan satwa liar.
Perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar Indonesia. Lebih dari 90 persen satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20 persen satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak. Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia, seperti orangután, penyu, beberapa jenis burung, harimau Sumatera dan beruang. Semakin langka satwa tersebut semakin mahal pula harganya.
Pada tahun 2002 sekitar 1.000 ekor orangutan diburu dari hutan Kalimantan untuk diperdagangkan dan juga diselundupkan ke luar negeri. Menurut Yayasan Gibbon, jumlah orangutan di Indonesia saat ini sekitar 14.000 ekor. Di beberapa daerah, telah terjadi kepunahan lokal beberapa spesies, seperti lutung Jawa di beberapa daerah di Banyuwangi.
Untuk perdagangan penyu, dunia internasional telah memberikan perhatiannya sejak lima belas tahun terakhir. Tahun 1990-an, beberapa lembaga internasional seperti Greenpeace telah mempublikasikan terjadinya perdagangan dan pembantaian ribuan penyu per tahun di Bali. Isu boikot pariwisata terhadap Bali pun mencuat sebagai respon dari kepedulian masyarakat internasional terhadap nasib malang penyu-penyu yang bebas diperdagangkan di Bali. Kemudian isu boikot pariwisata Bali semakin mereda seiring dengan berjalannya waktu dan munculnya isu yang mengatakan bahwa perdagangan penyu di Bali telah menurun. Namun investigasi ProFauna Indonesia di tahun 1999 membuktikan bahwa perdagangan penyu di Bali masih berlangsung. ProFauna Indonesia mencatat ada sekitar 9000 ekor penyu yang diperdagangkan hanya dalam kurun waktu empat bulan, yaitu Mei hingga Agustus 2001.
Kemudian untuk jenis burung yang diperdagangkan sebanyak 47 persen burung paruh bengkok yang diperdagangkan adalah termasuk jenis yang dilindungi, antara lain Cacatua sulphurea, Cacatua gofini, Eclectus roratus, Lorius lory, dan Cacatua galerita. Jenis burung yang paling banyak diperdagangkan adalah Lorius lory.
Berkaitan dengan perdagangan satwa liar pemerintah terus melakukan upaya-upaya penertiban dan pemantauan terhadap permasalahan tersebut. Pada tanggal 20 Januari 2003, Balai Karantina Departemen Pertanian (Deptan) berhasil menggagalkan upaya penyelundupan satwa ke Jepang yang terdiri dari: 5 ekor malu-malu, 2 ekor musang, 24 ekor tupai terang dan tupai kelapa, 40 ekor kelelawar, 2 ekor burung cucakrawa Sedangkan pada tanggal 22 Januari 2003, Balai Karantina Deptan menggagalkan upaya penyelundupan satwa liar ke Kuwait yang meliputi: 91 ekor malu-malu, 3 ekor owa jawa, 4 ekor siamang, 14 ekor kera ekor panjang, 4 ekor beruk, 40 ekor burung punai, 83 ekor bajing kelapa, 7 ekor bajing bergaris.


2.3  Penyusutan Keragaman Sumber Daya Genetik

Penyusutan sumber daya genetik yang terjadi saat ini adalah akibat tidak adanya pengaturan/kebijakan dan monitoring yang baik. Kurang tepatnya kebijakan di sektor pertanian misalnya, merupakan salah satu penyebab penyusutan keragaman genetik. Sebagai contoh, pemanfaatan teknologi monokultur dengan penggalakan penanaman padi PB (Pelita Baru) sejak 1978 untuk meningkatkan produksi beras, telah berdampak pada hilangnya 1500 kultivar padi lokal di Indonesia. Hal ini terjadi karena kebijakan intensifikasi pertanian menggunakan satu macam kultivar unggul secara nasional, menggiring petani menggunakan hanya satu kultivar tersebut dan mangabaikan kultivar lokal sehingga kultivar yang telah teradaptasi lama itu tersisihkan dan akhirnya menghilang.
Kasus lain, pemakaian bibit bermutu dan seragam secara besar-besaran dapat menimbulkan permasalahan seperti timbulnya epidemi dan pada ujungnya juga berakhir dengan pemusnahan sumber daya genetik. Ancaman terhadap kelestarian sumberdaya genetik juga dapat ditimbulkan oleh adanya pengaruh globalisasi. Sebagai dampak dari globalisasi telah terjadi erosi budaya seperti  menurunnya kesukaan akan buah lokal karena membanjirnya buah-­buahan impor di pasaran. Selain itu, petani juga diperkenalkan dengan bibit hasil introduksi pasar yang lebih disukai, sehingga penaman bibit tradisional menjadi jarang dan berangsur-angsur mulai tergusur oleh bibit introduksi. Sebenarnya pengalihan pemakaian bibit tradisional oleh bibit unggul adalah wajar dari segi tuntutan pasar, tapi perlu diingat bahwa keanekaragaman sifat yang dimiliki oleh bibit tradisional mungkin suatu saat akan diperlukan di masa datang. 
Kemudian penyebab lain adalah kurangnya sosialisasi tentang pentingnya sumber daya genetik. Padahal seperti kita ketahui bahwa sumber daya ini memiliki nilai strategis, sehingga upaya pelestarian dan pemanfaatannya perlu diperhatikan sebagai modal pembangunan berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Saat ini orang belum memikirkan pengelolaan sumberdaya genetik, konservasi yang sering dilakukan adalah hanya dalam lingkup jenis dan ekosistem saja.
Mengingat kondisi hutan di berbagai tempat terus mengalami kemunduran, maka hendaknya pemerintah mempertahankan kondisi dan meningkatkan kualitas hutan yang ada, melalui pengambilan kebijakan yang tegas untuk tidak mengizinkan lagi adanya konversi, selain dengan alasan-alasan yang sangat strategis dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP No 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan) maka pembangunan di kawasan hutan meskipun sesuai dengan peruntukannya wajib menjamin pembangunan tersebut tidak menyebabkan fragmentasi kawasan. Untuk itu rencana  tersebut tetap harus mengacu pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku terutama di bidang kehutanan, lingkungan hidup, dan tata ruang, serta memperhatikan kepentingan sosial ekonomi masyarakat.

========================================================================


DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 1993. Biodiversity Action Plan for Indonesia. BAPPENAS, Jakarta.

Dahuri, R., J. Rais, S.P Ginting dan M.J Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Prandya Paramita, Jakarta.

Forest Watch Indonesia. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Forest Watch Indonesia dan Washington DC: Global Forest Watch, Bogor.

Kementerian Lingkungan Hidup. 1997. Agenda 21 Indonesia: A National Strategy for Sustainable Development. KLH dan UNDP, Jakarta.

Kementerian Lingkungan Hidup. 2002. Dari Krisis Menuju Keberlanjutan: Meniti Jalan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia (Tinjauan Pelaksanaan Agenda 21). KLH, Jakarta.

Ministry of National Development Planning (BAPPENAS). 1993. Biodiversity Action Plan. Ministry of National Development Plan/National Development Planing, Jakarta.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.