TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA PADA TANAMA KAKAO (Theobroma cacao L)

PENDAHULUAN


A.      Latar belakang
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang bernilai ekonomi relatif tinggi karena sebagai bahan ekspor yang dapat memberikan keuntungan bagi petani dan sebagai sumber devisa negara. Karena nilai ekonomi kakao cukup signifikan dalam kontribusinya pada ekonomi rakyat maka pengembangan kakao terus digalakkan baik aspek budidaya maupun pascapanen.
Masalah utama yang dihadapi dalam budidaya kakao saat ini adalah serangan hama penggerek buah kakao (PBK, Conopomorpha cramerella), menyebabkan kematian jaringan plasenta biji sehingga biji tidak dapat berkembang sempurna lalu menjadi lengket dan tidak dapat di panen. Luas serangan PBK di Indonesia mencapai 348.000 ha (Ditjenbun 2004) atau 57% dari luas areal kakao yang tersebar di seluruh wilayah pertanaman kakao dengan keparahan infestasi yang beragam antarlokasi. Keparahan infestasi tertinggi terjadi pada daerah-daerah sentra kakao, seperti di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Timur. Oleh karena itu keberadaan hama PBK tersebut dapat mengancam kelangsungan produksi kakao di Indonesia. Tanaman kakao (Theobroma cacao L.)
Ardjanhar et al. (2000) melaporkan bahwa intensitas serangan hama PBK dan penghisap buah dapat mencapai 76,5% bila tidak dikendalikan, dengan penurunan hasil mencapai 63,3%. Maka hama ini dapat menimbulkan kerugian miliaran rupiah per tahun. Oleh sebab itu perlu adanya usaha yang serius dalam menanggulangi serangan ini.


=========================================================================


I.                   PEMBAHASAN


A.      Hama Penting Pada Tanaman Kakao
a.       Hama Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella S.)
Penggerek buah kakao (Conopomorpha cramerella S.) berkembang biak dengan cara bertelur. Hama ini biasanya meletakkan telurnya setelah matahari terbenam pada alur kulit buah kakao. Setelah telur menetas akan menjadi larva yang menjadi penyebab kerusakan pada buah coklat, hal ini dikarenakan larva akan segera membuat lubang ke dalam buah setelah telur menetas. Perilaku ini pada dasarnya dimaksudkan agar terhindar daripemangsa (predator). Larva yang masuk ke dalam buah akan tinggal pada biji atau plasenta (saluran makanan). (Hase, 2009).


Siklus hidup hama penggerek buah kakao ini sama seperti umumnya serangga lain yaitu: telur, larva, pupa dan imago (dewasa). Selama siklus hidupnya, hama penggerek buah kakao (Conopomorpha cramerella S.) membutuhkan waktu 35 – 45 hari untuk berkembang dari telur menjadi imago (serangga dewasa), sehingga dalam waktu yang cukup singkat dapat berkembang dengan sangat cepat (Hase, 2009).




Conopomorpha cramerella (Famili Gracillariidae: Ordo Lepidoptera) menyerang tanaman kakao hampir di seluruh daerah utama penghasil kakao di Indonesian (Sulistyowati et al, 2003). Stadium yang menimbulkan kerusakan dari hama ini adalah berupa larva/ulat yang menyerang buah kakao berukuran 3 cm sampai menjelang masak. Larva merusak buah dengan memakan daging buah, membuat saluran ke biji menyebabkan biji saling melekat (berwarna kehitaman, ukuran mengecil dan berukuran kecil sehingga kualitas biji menjadi rendah.

Siklus hidup
Telur berbentuk oval dengan panjang 0,4-0,5 mm dan lebar 0,2-0,3 mm, berwarna orange pada saat diletakkan dan menjadi kehitaman bila akan menetas. Stadium telur berlangsung 2-7 hari. Telur diletakkan pada permukaan kulit buah pada lekukan buah. Setelah menetas larva menggerek masuk ke dalam buah.
Larva berwarna putih kekuningan atau kehijauan dengan panjang maksimum 11 mm terdiri dari 5 instar. Lama stadia larva berkisar antara 14 – 18 hari. Menjelang berpupa, larva keluar dari buah dan berpupa pada permukaan buah, pada daun, serasah atau di tempat lain yang agak tersembunyi, bahkan pada kendaraan yang digunakan untuk mengangkut hasil panen.
Pupa berwarna coklat dengan ukuran panjang berkisar antara 6-7 mm dan lebar 1-1,5 mm terbungkus dalam kokon berwarna transparan dan kedap air. Stadium pupa berlangsung 5-8 hari. Imago atau serangga dewasa berupa ngengat berwarna hitam dengan bercak kuning berukuran panjang 7 mm, lama hidup berkisar antara 7-8 hari. Imago aktif pada malam hari dan di siang hari berlindung di tempat teduh. Seekor betina mampu meletakkan telur antara 50-100 butir selama hidupnya. Buah yang terserang ditandai dengan memudarnya warna kulit buah, muncul warna belang hijau kuning atau merah jingga. Buah yang sudah tua apabila diguncang tidak berbunyi karena bijinya saling melekat.

b.      Kepik Pengisap Buah (Helopeltis spp.)
Selain PBK, hama yang sering dijumpai pada pertanaman kakao adalah Helopeltis spp. (FamiliMiridae: Ordo Hemiptera). Helopeltis spp. merupakan salah satu hama utama kakao yang banyak dijumpai hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Jenis Helopeltis yang menyerang tanaman kakao diketahui lebih dari satu spesies, yaitu H. antonii, H. theivora dan H. Claviver (Karmawati et al., 2010). Stadium yang merusak dari hama ini adalah nimfa (serangga muda) dan imagonya. Nimfa dan imago menyerang buah muda dengan cara menusukkan alat mulutnya ke dalam jaringan, kemudian mengisap cairan di dalamnya. Sambil mengisap cairan, kepik tersebut juga mengeluarkan cairan yang bersifat racun yang dapat mematikan sel-sel jaringan yang ada di sekitar tusukan. Selain buah, hama ini juga menyerang pucuk dan daun muda.

Serangan pada buah muda akan menyebabkan terjadinya bercak yang akan bersatu sehingga kulit buah menjadi retak, buah menjadi kurang berkembang dan menghambat pekembangan biji. Serangan pada buah tua menyebabkan terjadinya bercak-bercak cekung berwarna coklat muda, yang selanjutnya akan berubah menjadi kehitaman. Serangan pada daun menyebabkan daun timbul bercak-bercak berwarna coklat atau kehitaman. Sedangkan serangan pada pucuk menyebabkan terjadinya layu, kering dan kemudian mati.

Siklus Hidup
Serangga ini mempunyai tipe metamorfosa sederhana, terdiri dari telur, nimfa dan imago. Telur berbentuk lonjong, berwarna putih, pada salah satu ujungnya terdapat sepasang benang yang tidak sama panjangnya. Telur diletakkan pada permukaan buah atau pucuk dengan cara diselipkan di dalam jaringan kulit buah atau pucuk dengan bagian ujung telur yang ada benangnya menyembul keluar. Stadium telur berlangsung antara 6-7 hari. Nimfa mempunyai bentuk yang sama dengan imago tetapi tidak bersayap, terdiri dari 5 instar dengan 4 kali ganti kulit. Stadium nimfa berkisar antara 10-11 hari. Imago berupa kepik dengan panjang tubuh kurang lebih 10 mm. Seekor imago betina mampu meletakkan telur hingga 200 butir selama hidupnya.

B.       Pengendalian Hayati Dengan Menggunakan Bakteri Entomopatogen
Bakteri Bacillus thuringiensis
Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan salah satu jenis bakteri yang sering digunakan sebagai insektisida mikroba untuk mengontrol serangga hama seperti Lepidoptera, Diptera, dan Coleoptera.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bacillus thuringiensis mampu menghasilkan suatu protein yang bersifat toksik bagi serangga, terutama seranggga dari ordo Lepidoptera. Protein ini bersifat mudah larut dan aktif menjadi toksik, terutama setelah masuk ke dalam saluran pencemaan serangga. Bacillus thuringiensis mudah dikembangbiakkan, dan dapat dimanfaatkan sebagai biopestisida pembasmi hama tanaman. Pemakaian biopestisida ini diharapkan dapat mengurangi dampak negatif yang timbul dari pemakaian pestisida kimia.
Bakteri yang paling banyak dimanfaatkan sebagai insektisida hayati adalah species Bacillus thuringiensis (Bt). Salah satu keunggulan B. thuringiensis sebagai agen hayati adalah kemampuan menginfeksi serangga hama yang spesifik artinya bakteri dapat mematikan serangga tertentu saja sehingga tidak beracun terhadap hama bukan sasaran atau manusia dan ramah lingkungan karena mudah terurai dan tidak menimbulkan residu yang mencemari lingkungan.

a. Klasifikasi Bacillus thuringiensis
Kingdom : Eubacteria
Filum       : Firmicutes
Kelas        : Bacilli
Ordo         : Bacillales
Famili       : Bacillaceae
Genus       : Bacillus
Spesies      : Bacillus thuringiensis

Ciri khas yang terdapat pada B. thuringiesis adalah kemampuannya membentuk kristal (tubuh paraspora) bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komplek protein yang mengandung toksin ( d – endotoksin ) yang terbentuk di dalam sel 2-3 jam setelah akhir fase eksponesial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mengalami autolisis setelah sporulasi sempurna. Sembilan puluh lima persen kristal terdiri dari protein dengan asam amino terbanyak terdiri dari asam glutamat, asam aspartat dan arginin, sedangkan lima persen terdiri dari karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa.
Protein atau toksin Cry tersebut akan dilepas bersamaan dengan spora ketika terjadi pemecahan dinding sel. Apabila termakan oleh larva insekta, maka larva akan menjadi inaktif, makan terhenti, muntah, atau kotorannya menjadi berair. Bagian kepala serangga akan tampak terlalu besar dibandingkan ukuran tubuhnya. Selanjutnya, larva menjadi lembek dan mati dalam hitungan hari atau satu minggu. Bakteri tersebut akan menyebabkan isi tubuh insekta menjadi berwarna hitam kecoklatan, merah, atau kuning, ketika membusuk.

Mekanisme Patogenisitas
Kristal protein yang termakan oleh serangga akan larut dalam lingkungan basa pada usus serangga. Pada serangga target, protein tersebut akan teraktifkan oleh enzim pencerna protein serangga. Protein yang teraktifkan akan menempel pada protein receptor yang berada pada permukaan sel epitel usus. Penempelan tersebut mengakibatkan terbentuknya pori atau lubang pada sel sehingga sel mengalami lisis. Pada akhirnya serangga akan mengalami gangguan pencernaan dan mati.

Cara Perbanyakan
Perbanyakan bakteri B. thuringiensis dalam media cair dapat dilakukan dengan cara yang mudah dan sederhana. Karena yang diperlukan sebagai bioinsektisida adalah protein kristalnya, maka diperlukan media yang dapat memicu terbentuknya kristal tersebut. Media yang mengandung tryptose telah diuji cukup efektif untuk memicu sporulasi B. thuringiensis. Dalam 2–5 hari B. thuringiensis akan bersporulasi dalam media ini dengan pengocokan pada suhu 30°C. Perbanyakan B. thuringiensis ini dapat pula dilakukan dalam skala yang lebih besar dengan fermentor.

Potensi sebagai Bioinsektisida
Untuk bahan dasar bioinsektisida biasanya digunakan sel-sel spora atau protein kristal Bt dalam bentuk kering atau padatan. Padatan ini dapat diperoleh dari hasil fermentasi sel-sel Bt yang telah disaring atau diendapkan dan dikeringkan. Padatan spora dan protein kristal yang diperoleh dapat dicampur dengan bahan-bahan pembawa, pengemulsi, perekat, perata, dan lain-lain dalam formulasi bioinsektisida.

Kelebihan pengendalian serangga hama tanaman menggunakan Bt, yaitu:

  1. Mikroba Bt umumnya tidak beracun dan tidak menyebabkan penyakit pada organisme lain yang tidak bertalian dekat secara taksonomi dengan serangga hama sasaran
  2. Sifat racun insektisida mikroba umumnya spesifik untuk satu kelompok spesies serangga dan
  3. Residunya tidak berbahaya pada manusia maupun binatang, maka dapat diaplikasikan meskipun pertanaman menjelang dipanen (Hunsberger, 2000).


Kekurangan insektisida mikroba Bt adalah:
  1.  Serangga hama kelompok lain yang menyerang pertanaman yang diaplikasi, akan tetap berkembang,
  2.  Pemanasan dan radiasi sinar ultra violet akan menurunkan tingkat keefektifan beberapa tipe insektisida mikroba, dan
  3. Perlu formulasi khusus dan cara penyimpanan yang spesifik agar tingkat keefektifannya tidak menurun. Tulisan ini melaporkan hasil penelitian keefektifan insektisida mikroba berbahan aktif bakteri Bt dalam menurunkan tingkat serangan hama PBK di lapangan.




=========================================================================

II.                PENUTUP


A.      Kesimpulan
1.      Hama penggerek buah kakao ( Conopomorpha cramerella ) dan penghisap buah kakao ( Helopeltis spp. ) Menyebabkan kerugian besar pada perkebunan kakao apabila tidak dikendalikan dengan baik.
2.      Pengendalian dengan menggunakan pestisida kimia banyak juga menimbulkan kerugian dalam hal dapat menimbulkan residu yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan.
3.      Penggunaan pengendalian hayati dengan menggunakan bakteri Bacillus thuringiensis dipercaya dapat mengendalikan dan menekan perkembangan populasi hama yang menyerang tanaman kakao dan mengurangi kerugian akibat serangan hama.


 ======================================================================= 



DAFTAR PUSTAKA


Anshary, A.  2003.  Potensi  klon  kakao  tahan  penggerek  buah  Conopomorpha
cramerella dalam pengendalian hama terpadu. Risalah Simposium Nasional penelitian PHT Perkebunan Rakyat. Bogor, 17-18 September 2002. Pp. 177-186.

Ditjenbun, 2000. Statistik Perkebunan Indonesia 1998-2000. Jakarta: Departemen
Pertanian, Direktorat Jenderal Perkebunan.

Hase,  B.  2009.  Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) dan Metoda Pengendalian.

Karmawati, E.,  Z. Mahmud, M. Syakir, J. Munarso, K. Ardana dan Rubiyo. 2010.
Budidaya dan Pasca Panen Kakao. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 92 hal.

Karmawati,  E.  2010.  Pengendalian Hama Helopeltis  spp pada Tanaman Jambu
Mete Berdasarkan Ekologi; Strategi dan Implementasi. Pengembangan Inovasi Pertanian 3 (2) : 102 – 119.

Suwondo,  2001.   Upaya   Pengendalian   Hama   Penggerek   Buah   Kakao   di 
Sulawesi Tenggara. Pertemuan Teknis Pengendalian Hama PBK. Kendari.


Sulistyowati, E., Y. D. Junianto, Sri-Sukamto, S. Wiryadiputra, L. Winarto dan N.
Primawati. 2003. Analisis status penelitian dan pengembangan PHT pada pertanaman kakao. Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan Rakyat. Bogor, 17-18 September 2002. Pp. 161-176.

Siswanto    dan    Karmawati,   E.   2012.   Pengendalian   Hama   Utama   Kakao

(Conopomorpha cramerella dan Helopeltis spp.) dengan Pestisida Nabati dan Agen Hayati. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia. Bogor.`

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.